Selasa, 09 November 2010

BERNAFAS DALAM LUMPUR

Ini bukan judul film Indonesia di tahun 70-an, tetapi tragedi di Jember Jawa Timur, yang membuat kita tersentak dan bumi pertiwi kembali meneteskan air mata, peristiwa yang merengut korban jiwa dan memusnahkan harta benda. Dimana Banjir melanda bukan saja arus air yang deras, namun di ikuti gumpalan lumpur. Air yang merupakan sumber kehidupan kembali menjadi sumber kematian bagi mereka yang menggunakannya.

Membicarakan air di musim hujan seperti saat ini bisa jadi sesuatu yang terlupakan. Masalahnya air sangat mudah didapat dari pasokan hujan yang hampir setiap hari menyirami bumi dan membuat pasokan air tanah bagi sumur masyarakat. Musim hujan seperti ini membuat meningkatnya volume air sumur masyarakat, sawah petani mulai hijau dan segar setelah sekian lama mengalami kekeringan.

Air adalah anugerah Tuhan yang sangat bernilai kepada seluruh makhluk yang ada dimuka bumi ini. Air adalah satu sumber kehidupan yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Manusia dapat bertahan hidup tanpa listrik, alat – alat elektronik, tetapi tidak akan bertahan tanpa air. Krisis air yang pernah terjadi di beberapa daerah di tanah air membuktikan bahwa betapa pentingnya air bagi kehidupan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa tanpa air maka pincanglah kehidupan manusia dan kehidupan lainnya. Bukan saja penting bagi kehidupan manusia secara individu (mandi, mencuci, minum, dsb), tetapi juga sangat diperlukan bagi lancarnya roda perindustrian, pertanian apalagi, dunia pariwisata dll. Bahkan air merupakan salah satu sumber mata pencaharian, hal ini tergambarkan bahwa air indentik dengan nelayan, kepada airlah tempat mereka mencari rejeki bagi memenuhi tuntutan hidup. Inilah bukti betapa pentingnya air bagi kehidupan manusia.

Namun demikian air dapat berbalik menjadi sumber bencana apabila kita tidak memeliharanya secara bersahabat, apalagi dalam penggunannya tidak secara rasional dan tidak memperhatikan faktor – faktor lain yang menyebabkan air menjadi sumber bencana bagi manusia. Bahan buangan perumahan seperti sampah rumah tangga, sampah – sampah industri yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti fosfat, sianida, dan asid sulfurik dibuang seenaknya, pengaliran air yang bercampur dengan tanah, baja, racun serangga serta minyak ini yang menyumbang kepada pencemaran air.

Apabila jumlah penduduk semakin meningkat, permintaan untuk tanah juga meningkat, dan kita tahu air merupakan kebutuhan paling esensial yang tidak dapat digantikan dengan benda apapun. Bahkan tidak adan benda yang dapat digunakan untuk mensubstitusi air yang kebutuhannya meningkat. Akhirnya penebangan hutan sebagai salah satu solusi untuk pemenuhan pemukiman maupun untuk industri. Tindakan ini salah satu faktor yang menyebabkan keseimbangan ekosistem kita terganggu. Implikasinya berlaku banjir, kurangnya simpanan air bersih. Contoh nyata adalah terjadinya longsor di Banjarnegara Jawa Tengah, dan banjir lumpur di Jember Jawa Timur.

Pada dua puluh tahun yang lalu Emil Salim mantan Menteri Lingkungan Hidup, pernah diingatkan oleh Mardjono Notodihardjo yang pada waktu itu menjabat sebagai Direktur Air Departemen Pekerjaan Umum (kompas, 21 Agustus 2003), bahwa Indonesia akan menderita krisis air di tahun 2000. Ramalan ini didasarkan laju pertumbuhan penduduk yang mendorong kenaikan permintaan air tawar untuk pertanian, industri, hotel, dan perumahan, disatu pihak yang berhadapan dengan merosotnya kemampuan lingkungan menyerap dan menahan air hujan di pihak lain. Secara umum jumlah ketersedian air tawar di Indonesia masih besar ketimbang pemakaian sepanjang tahun, yang menjadi masalah, volume air tawar ini memuncak dimusim hujan menjadi bencana banjir, tetapi menyusut di musim kemarau menimbulkan krisis air yang parah.

Akhirnya, air memainkan peranan penting bagi kehidupan makhluk hidup dimuka bumi ini. Oleh karena itu kita harus memelihara alam sekitar kita agar masalah pencemaran, krisis air air, banjir dan longsor dapat diminimalisir syukur – syukur dapat diatasi. Sesungguhnya air adalah nadi kehidupan kita. Namun semuanya kembali kepada kita. Kitalah yang sebenarnya membanjirkan air dan melongsorkan tanah.

Jogjakarta, 5 Januari 2006

Penulis

ISMAIL FAHMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar